Tugas Sosiologi Hukum Untuk Tanggal 8 November
2015
Di posting oleh : Vivi Alvitur Rohmah
(1711143083)/HES 3-B
PENERAPAN PARADIGMA DALAM UNDANG-UNDANG PILKADA
A. Topik Umum Mengenai Undang-Undang Pilkada
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia
Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi,
dan kemudian daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota yang
masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi,
kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan fungsi-fungsi
pemerintahan daerah, yakni Pemerintah Daerah dan DPRD. Sejak tahun 2005, pemilu
kepala daerah dilakukan secara langsung (pemilukada/pilkada). Melalui pilkada,
masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung
sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara dalam memilih kepala
daerah. Undang-Undang yang menjelaskan masalah pilkada, salah satunya ialah UU
No.1 Tahun 2015 tentang perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang penetapan
peraturan pemerintah pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gurbernur,
Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang.
Dari UU No. 8 Tahun 2015 tentng pemilihan Gurbernur, Bupati, dan Walikota,
disini penulis akan mengnalisis tiga pasal, yaitu pasal 49 ayat 8 dan 9, pasal
66 ayat 7, dan pasal 69 ayat 1 (j), berikut penjelasannya:
1. Pasal 49 Ayat 8 dan 9
Yaitu Dalam
hal hasil penelitian
sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) menghasilkan pasangan
calon yang memenuhi persyaratan kurang
dari 2 (dua)
pasangan calon, tahapan pelaksanaan
Pemilihan ditunda paling
lama 10 (sepuluh) hari. KPU
Provinsi membuka kembali
pendaftaran pasangan Calon Gubernur
dan Calon Wakil
Gubernur paling lama 3
(tiga) hari setelah
penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8). Pasal ini
bisa dikatakan sebagai paradigma hukum dapat menciptakan perubahan-perubahan
dalam masyarakat (rekayasa sosial). Karena pasal ini buat oleh pemerintah yang
berwenang dan dimaksudkan untuk menjadikan masyarakat termasuk pemenuhan syarat
harus adanya minimal dua pasangan calon kepala daerah supaya yang menjadi
kepala daerah tidak tetap. Meskipun masih banyak juga daerah yang hanya ada
pasangan calon kepala daerah tunggal, seperti salah satunya kasus dibawah ini.
Misalnya yang
terjadi di Blitar yang calon walikota hanya ada 1 pasang, dan bahkan sudah
melakukan pendaftaran ulang hingga dua kali putaran, tetapi masih tetap tidak
ada yang mendaftarkan sebagai calon walikota. Meskipun sempat terancam pilkada
akan mundur, tetapi dana sudah diberikan dan pilkada akan tetap dilaksanakan
dengan 1 (satu) pasang calon walikota.
Dari kasus di atas dapat penulis analisis bahwa dalam
menerapkan pasal ini, masih sangat lemah dan tidak sesuai dengan apa yang telah
ada pada undang-undang. Seharusnya, apabila syarat untuk menjadi calon walikota
kurang dari dua pasang maka harus sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2015 Pasal 49
Ayat 8 dan 9 ini harus dibatalkan dan boleh melakukan pilkada 2017 yang akan
datang.
2. Pasal 66 Ayat 7
Pasal ini menjelaskan bahwa Alat
peraga Kampanye harus
sudah dibersihkan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari
pemungutan suara. Dengan adanya pasal ini, para pendukung masing-masing calon
Bupati, Gurbenur, dan Walikota dimaksudkan agar mencopot semua atribut seperti
baleho, poster, banner yang ada di tempat-tempat yang dipasangi. Pasal ini
termasuk dalam paradigma hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat,
karena masyarakat disini mengalami perubahan sosial yang semula membiarkan
atribut pasangan calon kepala daerah tersebut terpampangg di area umum, kini
mereka mencopot atribut tersebut sebelum hari tenang. Meskipun pada kenyataannya
masih juga ada yang melanggarnya dan tetap dibiarkan ada di tempat-tempat umum.
Meskipun masih ada yang melanggar, setidaknya dengan berjalannya waktu,
masyarakat akan sadar atas peraturan-peraturan yang telah dibuat dan mengurangi
tindak kecurangan, serta menjadi masyarakat yang taat hukum.
3. Pasal 69 ayat 1 (j)
Dalam Kampanye dilarang melakukan
pawai yang dilakukan
dengan berjalan kaki
dan/atau dengan kendaraan di jalan raya. Adapun tujuan dibuatnya pasal
tesebut untuk keselamatan para pendukung yang mengikuti kampanye dan tidak mengganggu
pengguna jalan lainnya.
Dengan demikian, pasal tersebut bisa dikatakan sebagai paradigma hukum
sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat. Karena sebelum adanya pasal ini, hampir
semua pasangan calon kepala daerah melakukan kampanye dijalan raya dan mengganggu
para pengguna jalan raya, sehingga masyarakat banyak yang merasa tidak nyaman
dengan adanya kampanye terebut. Jelas perbedaannya antara kampanye dahulu yang
bisa dikatakan tidak tertib dengan sekarang yang lebih terarah dan tidak
merugikan yang lainnya.
K Kesimpulan:
Dari ketiga pasal tersebut, dapat penulis simpulkan
bahwa dalam hal pemilihan kepala daerah (pilkada) terjadi beberapa perubahan
pasal yang terdapat pada Undang-Undang sebelumnya yaitu UU No. 1 Tahun 2015
dengan UU No. 8 Tahun 2015. Perubahan tersebut berhubungan dengan pilkada tahun
lalu dan sekarang. Pilkada tahun lalu dilakukan secara mandiri, sedangkan
pilkada tahun ini dilakukan serentak di seluruh wilayah Indonesia. Dengan
diadakannya pilkada secara serentak ini, diharapkan bisa menghemat anggaran dan
mengatasi lemahnya instrumen pengawasan.
B. Perubahan Sosial yang Terjadi
Dengan adanya Undang-undang dan penjelasan dalam suatu pasal, bisa
menimbulkan perubahan sosial. Seperti adanya pasal 69 ayat 1(j) yang
menjelaskan tentang larangan berkampanye dijalan raya dengan menggunakan
montor. Dari pasal tersebut menimbulkan perubahan sosial, yaitu para kelompok
pendukung pasangan calon Bupati, Gurbernur, dan Walikota yang dulunya banyak
melakukan kampanye dijalan raya dan mengganggu pengguna jalan raya lainnya,
sekarang tidak ada lagi yang melakukan kampanye dijalan raya. Perubahan sosial
lainnya ialah dengan diubahnya pilkada secara langsung, masyarakat terlibat
dalam pilkada tersebut dan terdapat kewajiban yang masing-masing masyarakat
yang sudah berumur 17 tahun wajib mengikuti pilkada dengan memilih calon
tersebut sesuai dengan hati nurani dan tanpa adanya paksaan. Dengan demikian,
masyarakat yang dahulunya tidak mengerti mengenai pilkada, kini menjadi
mengerti dan ikut berpartisipasi.
C. Perubahan Hukum yang Dibuat
Adanya beberapa kali perubahan dalam Undang-Undang pilkada, juga
menimbulkan perubahan hukum yang dibuat. Awalnya pilkada dilakukan secara tidak
langsung, sehingga masyarakat tidak berperan banyak dalam pemilihan tersebut,
kemudian terjadi perubahan Undang-Undang yang dilakukan secara langsung.
Perubahan Undang-Undang tersebut dikarenakan apabila pilkada dilakukan secara
tidak langsung, akan memperbanyak kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah,
sehingga dibutuhkan peran masyarakat dalam pilkada tersebut dan masyarakat
berhak memilih langsung pasangan calon sesuai dengan hati nuraninya. Kemudian
baru-baru ini dibuat perubahan pilkada yang sebelumnya pada tahun 2004
dilakukan secara mandiri, diubah menjadi pilkada secara serentak di seluruh
wilayah Indonesia pada bulan Desember 2015 yang akan datang. Adapun tujuan
dilakukan pilkada serentak yaitu untuk menghemat anggaran, meminimalisir
terjadinya bentrok antar pendukung dan meminimalisir terjadinya kecurangan,
serta mengatasi lemahnya instrumental pengawasan pilkada.
D. Hubungan Antara Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum Sesuai Dengan
Paradigma
Hubungan antara perubahan sosial dengan
perubahan hukum merupakan salah satu kajian yang sangatlah penting dari
disiplin sosiologi dan keduanyya saling berinteraksi satu sama lain serta
menimbulkan dampak tertentu. Adapun hubungan antara perubahan sosial dengan
perubahan hukum ialah dengan adanya perubahan hukum yang dibuat, bisa dijadikan
sebagai acuan dalam sosial masyarakat dan bisa mengubah sosial masyarakat
mejadi yang lebih baik.
Dari hubungan perubahan sosial dan perubahan
hukum diatas, adapun paradigma yang dapat diketahui ialah sebagai berikut:
1. Paradigma hukum sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat yang terdapat dalam
pasal 69 ayat 1 (j) dan perlu adanya pasal baru terkait bolehnya pilkada yang
hanya terdapat pasangan calon tunggal, yang memiliki ciri-ciri:
Ø Perlu adanya peraturan tentang diperbolehkannya pasangan calon Bupati,
Gurbeernur, dan Walikota yang tunggal.
Ø Adanya alat kelengkapan, seperti pemerintah, sosialisasi pilkada,
mekanisme/alur dalam memilih calon Bupati, Gurbernur, dan Walikota.
2. Paradigma hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat (rekayasa
sosial) yang terdapat dalam pasal 49 ayat 8 dan 9 serta pasal 66 ayat 7, dengan
ciri-ciri:
Ø Adanya ketentuan harus terdapat dua pasangan calon kepala daerah
Ø Adanya pasal yang menjelaskan tentang pencopotan atribut masing-masing
pasangan calon, seperti poster, banner, dan lain sebagainya.
E. Daftar Pustaka
Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum; Sebuah
Pengantar, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 94.
UU No. 8 Tahun 2015. Di akses pada tanggal 6
November pkl. 12.15 WIB, dari http://www.rumahpemilu.org/in/read/91/Undang-undang-terkait-pemilu.
Kabupaten Blitar Akhirnya Gelar Pilkada dengan
Calon Tunggal. Di akses ada tanggal 6 November 2015 pkl. 11.21 WIB, dari http://m.okezone.com/read/2015/09/29/519/1223090/kabupaten-blitar-akhirnya-gelar-pilkada-dengan-calon-tunggal.