Sabtu, 07 November 2015

ANALISIS UNDANG-UNDANG PILKADA

Tugas Sosiologi Hukum Untuk Tanggal 8 November 2015
Di posting oleh : Vivi Alvitur Rohmah (1711143083)/HES 3-B

PENERAPAN PARADIGMA DALAM UNDANG-UNDANG PILKADA

A.  Topik Umum Mengenai Undang-Undang Pilkada
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan kemudian daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota yang masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintah Daerah dan DPRD. Sejak tahun 2005, pemilu kepala daerah dilakukan secara langsung (pemilukada/pilkada). Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara dalam memilih kepala daerah. Undang-Undang yang menjelaskan masalah pilkada, salah satunya ialah UU No.1 Tahun 2015 tentang perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gurbernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang.
Dari UU No. 8 Tahun 2015 tentng pemilihan Gurbernur, Bupati, dan Walikota, disini penulis akan mengnalisis tiga pasal, yaitu pasal 49 ayat 8 dan 9, pasal 66 ayat 7, dan pasal 69 ayat 1 (j), berikut penjelasannya:
1.    Pasal 49 Ayat 8 dan 9
Yaitu Dalam  hal  hasil  penelitian  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (7)  menghasilkan  pasangan  calon  yang  memenuhi persyaratan  kurang  dari  2  (dua)  pasangan  calon, tahapan  pelaksanaan  Pemilihan  ditunda  paling  lama 10 (sepuluh) hari. KPU  Provinsi  membuka  kembali  pendaftaran  pasangan Calon  Gubernur  dan  Calon  Wakil  Gubernur  paling  lama 3  (tiga)  hari  setelah  penundaan  tahapan  sebagaimana dimaksud pada ayat (8). Pasal ini bisa dikatakan sebagai paradigma hukum dapat menciptakan perubahan-perubahan dalam masyarakat (rekayasa sosial). Karena pasal ini buat oleh pemerintah yang berwenang dan dimaksudkan untuk menjadikan masyarakat termasuk pemenuhan syarat harus adanya minimal dua pasangan calon kepala daerah supaya yang menjadi kepala daerah tidak tetap. Meskipun masih banyak juga daerah yang hanya ada pasangan calon kepala daerah tunggal, seperti salah satunya kasus dibawah ini.
 Misalnya yang terjadi di Blitar yang calon walikota hanya ada 1 pasang, dan bahkan sudah melakukan pendaftaran ulang hingga dua kali putaran, tetapi masih tetap tidak ada yang mendaftarkan sebagai calon walikota. Meskipun sempat terancam pilkada akan mundur, tetapi dana sudah diberikan dan pilkada akan tetap dilaksanakan dengan 1 (satu) pasang calon walikota.
Dari kasus di atas dapat penulis analisis bahwa dalam menerapkan pasal ini, masih sangat lemah dan tidak sesuai dengan apa yang telah ada pada undang-undang. Seharusnya, apabila syarat untuk menjadi calon walikota kurang dari dua pasang maka harus sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2015 Pasal 49 Ayat 8 dan 9 ini harus dibatalkan dan boleh melakukan pilkada 2017 yang akan datang.
2.    Pasal 66 Ayat 7
Pasal ini menjelaskan bahwa Alat  peraga  Kampanye  harus  sudah  dibersihkan  paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara. Dengan adanya pasal ini, para pendukung masing-masing calon Bupati, Gurbenur, dan Walikota dimaksudkan agar mencopot semua atribut seperti baleho, poster, banner yang ada di tempat-tempat yang dipasangi. Pasal ini termasuk dalam paradigma hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat, karena masyarakat disini mengalami perubahan sosial yang semula membiarkan atribut pasangan calon kepala daerah tersebut terpampangg di area umum, kini mereka mencopot atribut tersebut sebelum hari tenang. Meskipun pada kenyataannya masih juga ada yang melanggarnya dan tetap dibiarkan ada di tempat-tempat umum. Meskipun masih ada yang melanggar, setidaknya dengan berjalannya waktu, masyarakat akan sadar atas peraturan-peraturan yang telah dibuat dan mengurangi tindak kecurangan, serta menjadi masyarakat yang taat hukum.
3.    Pasal 69 ayat 1 (j)
Dalam Kampanye dilarang melakukan  pawai  yang  dilakukan  dengan  berjalan  kaki
dan/atau dengan kendaraan di jalan raya. Adapun tujuan dibuatnya pasal tesebut untuk keselamatan para pendukung yang mengikuti kampanye dan tidak mengganggu pengguna jalan lainnya.
Dengan demikian, pasal tersebut bisa dikatakan sebagai paradigma hukum sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat. Karena sebelum adanya pasal ini, hampir semua pasangan calon kepala daerah melakukan kampanye dijalan raya dan mengganggu para pengguna jalan raya, sehingga masyarakat banyak yang merasa tidak nyaman dengan adanya kampanye terebut. Jelas perbedaannya antara kampanye dahulu yang bisa dikatakan tidak tertib dengan sekarang yang lebih terarah dan tidak merugikan yang lainnya.

K  Kesimpulan:
Dari ketiga pasal tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa dalam hal pemilihan kepala daerah (pilkada) terjadi beberapa perubahan pasal yang terdapat pada Undang-Undang sebelumnya yaitu UU No. 1 Tahun 2015 dengan UU No. 8 Tahun 2015. Perubahan tersebut berhubungan dengan pilkada tahun lalu dan sekarang. Pilkada tahun lalu dilakukan secara mandiri, sedangkan pilkada tahun ini dilakukan serentak di seluruh wilayah Indonesia. Dengan diadakannya pilkada secara serentak ini, diharapkan bisa menghemat anggaran dan mengatasi lemahnya instrumen  pengawasan.

B.  Perubahan Sosial yang Terjadi
Dengan adanya Undang-undang dan penjelasan dalam suatu pasal, bisa menimbulkan perubahan sosial. Seperti adanya pasal 69 ayat 1(j) yang menjelaskan tentang larangan berkampanye dijalan raya dengan menggunakan montor. Dari pasal tersebut menimbulkan perubahan sosial, yaitu para kelompok pendukung pasangan calon Bupati, Gurbernur, dan Walikota yang dulunya banyak melakukan kampanye dijalan raya dan mengganggu pengguna jalan raya lainnya, sekarang tidak ada lagi yang melakukan kampanye dijalan raya. Perubahan sosial lainnya ialah dengan diubahnya pilkada secara langsung, masyarakat terlibat dalam pilkada tersebut dan terdapat kewajiban yang masing-masing masyarakat yang sudah berumur 17 tahun wajib mengikuti pilkada dengan memilih calon tersebut sesuai dengan hati nurani dan tanpa adanya paksaan. Dengan demikian, masyarakat yang dahulunya tidak mengerti mengenai pilkada, kini menjadi mengerti dan ikut berpartisipasi.

C.  Perubahan Hukum yang Dibuat
Adanya beberapa kali perubahan dalam Undang-Undang pilkada, juga menimbulkan perubahan hukum yang dibuat. Awalnya pilkada dilakukan secara tidak langsung, sehingga masyarakat tidak berperan banyak dalam pemilihan tersebut, kemudian terjadi perubahan Undang-Undang yang dilakukan secara langsung. Perubahan Undang-Undang tersebut dikarenakan apabila pilkada dilakukan secara tidak langsung, akan memperbanyak kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga dibutuhkan peran masyarakat dalam pilkada tersebut dan masyarakat berhak memilih langsung pasangan calon sesuai dengan hati nuraninya. Kemudian baru-baru ini dibuat perubahan pilkada yang sebelumnya pada tahun 2004 dilakukan secara mandiri, diubah menjadi pilkada secara serentak di seluruh wilayah Indonesia pada bulan Desember 2015 yang akan datang. Adapun tujuan dilakukan pilkada serentak yaitu untuk menghemat anggaran, meminimalisir terjadinya bentrok antar pendukung dan meminimalisir terjadinya kecurangan, serta mengatasi lemahnya instrumental pengawasan pilkada.   

D.  Hubungan Antara Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum Sesuai Dengan Paradigma
Hubungan antara perubahan sosial dengan perubahan hukum merupakan salah satu kajian yang sangatlah penting dari disiplin sosiologi dan keduanyya saling berinteraksi satu sama lain serta menimbulkan dampak tertentu. Adapun hubungan antara perubahan sosial dengan perubahan hukum ialah dengan adanya perubahan hukum yang dibuat, bisa dijadikan sebagai acuan dalam sosial masyarakat dan bisa mengubah sosial masyarakat mejadi yang lebih baik.
Dari hubungan perubahan sosial dan perubahan hukum diatas, adapun paradigma yang dapat diketahui ialah sebagai berikut:
1.    Paradigma hukum sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat yang terdapat dalam pasal 69 ayat 1 (j) dan perlu adanya pasal baru terkait bolehnya pilkada yang hanya terdapat pasangan calon tunggal, yang memiliki ciri-ciri:
Ø Perlu adanya peraturan tentang diperbolehkannya pasangan calon Bupati, Gurbeernur, dan Walikota yang tunggal.
Ø Adanya alat kelengkapan, seperti pemerintah, sosialisasi pilkada, mekanisme/alur dalam memilih calon Bupati, Gurbernur, dan Walikota.
2.    Paradigma hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat (rekayasa sosial) yang terdapat dalam pasal 49 ayat 8 dan 9 serta pasal 66 ayat 7, dengan ciri-ciri:
Ø Adanya ketentuan harus terdapat dua pasangan calon kepala daerah
Ø Adanya pasal yang menjelaskan tentang pencopotan atribut masing-masing pasangan calon, seperti poster, banner, dan lain sebagainya.

E.  Daftar Pustaka
Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum; Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 94.
UU No. 8 Tahun 2015. Di akses pada tanggal 6 November pkl. 12.15 WIB, dari http://www.rumahpemilu.org/in/read/91/Undang-undang-terkait-pemilu.

Kabupaten Blitar Akhirnya Gelar Pilkada dengan Calon Tunggal. Di akses ada tanggal 6 November 2015 pkl. 11.21 WIB, dari http://m.okezone.com/read/2015/09/29/519/1223090/kabupaten-blitar-akhirnya-gelar-pilkada-dengan-calon-tunggal

11 komentar:

  1. Sayang mbak'e, aku nggak bisa koment macem-macem... XD
    Hanya mampir ini ceritanya, hhahaha...

    BalasHapus
  2. Terkait dengan artikel yang anda buat saya ingin memberi masukan mengenai undang-undang yang sebelum perubahan itu dicantumkan isinya secara jelas, agar pembaca bisa faham terkait undang-undang yang dulu dengan undang-undang yang sudah diperbarui. Terimakasih..

    Silahkan mampir di blog saya.. 😀😀

    BalasHapus
  3. Trimakasih mbk intan atas sarannya :)

    BalasHapus
  4. artikelnya dapat dimengerti, mungkin bisa ditambahkan pasal berapa saja yang tidak relevan dan diusulkan untuk diubah.
    Terimakasih

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Artikelnya sanngat membantu menambah wawasan tentang uu pilkada. Namun saya mungkin kurang sependapat dengan pendapat anda yg menyebutkan pada pasal 69 ayat 1(j) paradigma yg terjadi adalah hukum sebagai alat kebutuhan masyarakat karena dari pemaparan anda tidak ada penjelasan tentang aksi terang-terangan/protes yg dilakukan oleh masyarakat terhadap pawai yg sebelumnya. Kalau melihat dr sini saya lebih condong ke paradigma hukum sebagai alat untuk melakukan rekayasa sosial. Karena adanya pasal itu karena inisiatif dr pemerintah sendiri yg bertujuan untuk keselamatn. Cirinya paradigma ini salah satunya adalah berorientasi pada masa depan. Terimakasih

    BalasHapus
  7. Assalamualaikum...
    Saya setuju dengan penambahan pasal yang membolehkan pasangan tunggal dapat maju ke pemilukada, karena kalau dengan adanya pasangan tunggal pemilukada akan di tunda maka akan terjadi stagnasi dalam wilayah tersebut, yang bisa dikatakan sebagai kekosongan pemimpin yang menyebabkan kurangnya maksimal kebijakan dalam menjalankan roda pemerintahan.
    Selain itu , sesuai dengan asas dalam pemilu luber dan jurdil disini saya menekankan pada asas jujur, mengetahui bahwa dalam mensosialisasikan calon dari masing masing parpol banyak praktek kecurangan khusunya kasus suap, di undang undang juga sudah dijelaskan tentang larangan suap. Untuk itu, seharusnya adanya pembaaruan undang undang demi penggalakan kasus suap tersebut dengan salah satu caranya yaitu dengan adanya hukum yang lebih memaksa dan dalam pengawasannya lebih di perketat lagi
    Terimakasih
    Wassalama

    BalasHapus
  8. alhamdulilah, isi blog ini sangat membantu sekali. saya sangat setuju dengan ketentuan uu No.8 tahun 2015 dimana Pilkada dilakukan secara serentak, dimana hal ini dapat menghemat anggaran daerah dan negara yang keluar yang tentu saja dapat digunakan untuk keperluan yang lain, khususnya untuk kesejahteraan masyarakat sendiri.
    Saya sangat setuju dengan ketentuan pasal 69 ayat 1(j) yang menjelaskan tentang larangan berkampanye dijalan raya dengan menggunakan montor. dengan ketentuan ini tidak akan ada kapanye dijalan raya lagi, yang menyebabkan kemancetan, yg sangat menggagu para pengendara.

    BalasHapus
  9. Pembahasan paradigma Anda terhadap UU ini kurang memadai. Nilai 55

    BalasHapus